Monday, August 27, 2007

Resensi / Sinopsis / Review Novel " PUSARAN ARUS WAKTU "

PUSARAN ARUS WAKTU

Penerbit: Tiga Serangkai, Agustus 2007
Penulis: Gola Gong

Namaku Lazuardi. Aku mempunyai empat sahabat; Boy, Dini, Rizal, dan Ery. Kami adalah sekelompok anak-anak yang sudah dikarunia kehormatan ketika lahir, tapi haus akan kasih sayang orang tua. Terutama seorang Ibu. Papa kami sibuk dengan segala rapat negara, kunjungan ke beberapa wilayah di pelosok negeri, bahkan ke mancanegara. Sedangkan Mama kami sibuk facial,luluran, membeli perhiasan terbaru, liburan di negara tetangga sambil shoping dan larak sana-sini menggoda lelaki muda. Papa kami dungu seperti keledai. Mereka sudah buta mata dan hati. Padahal di koran-koran negeri ini sering membicarakan mereka yang tidak becus mengurusi negeri. Mereka hanya molor saja saat rapat di gedung rakyat. Mulut manis, hatinya berbisa. Selalu meributkan fasilitas yang tidak pernah dianggap cukup. Orangtua kami adalah orang-orang yang tidak mau menderita seperti rakyatnya. Kami memang sekelompok anak panah yang kehilangan busur. Kami anak-anak yang dihimpit skandal orangtua sendiri. Kami anak-anak yang limbung, merindukan belaian kasih rindu sang Ibu. (Suara lubuk hati
Lazuardi, 18 tahun, yang terpendam)

Ini adalah perjalanan ketiga Lazuardi menyusuri lorong-lorong labirin kehidupannya. Kadang dia tersesat, tapi kadang dia menemukannya. Dia terdampar di sebuah kampung yang kepemilikannya bersengketa dengan pengusaha gurita dari Jakarta. Juga dia tersedot ke suasana komidi putar, hiburan rakyat kebanyakan. Apa yang harus dia lakukan? Akankah dia jadi dewa penolong atau sekedar penonton di pinggir jalan saja?
Berhasilkah orang-orang suruhan ayahnya menangkapnya? Berakhir hingga di sinikah pencarian identitas jati dirinya?
***

APA KATA MEREKA:
Ini novel sequel yang menarik dan menyentuh perasaan. Pergulatan manusia dengan "sang nasib" dikisahkan dengan gaya bertutur yang mengalir, romantic, dan semipopuler khas Gola Gong. Sebuah bacaan yang menghibur sekaligus mencerahkan. (Ahmadun Yosi Herafanda, Sastrawan dan Redaktur Sastra Harian Republika)

Gola Gong piawai bercerita. Ia dengan mudah meneggelamkan atau melambungkan suasana hati pembaca. Apapun jenis cerita yang ditulisnya. (Akmal Nasey Basral, jurnalis, penulis novel Imperia)

Novel-novel Gola Gong mampu mewakili semangat geerasinya. Ia bertutur, bahwa setiap genrasi punya tantangan dan jawaban masing-masing atas persoalan kehidupannya. (Hikmat Kurnia, Pekerja Perbukuan)

Balada Si Roy, lewat itu saya mengenal Gola Gong. Satu-satunya penulis Indonesia serial petualangan yang saya ketahui. Tanpa terasa, tokoh Roy telah mengilhami orang khususnya saya, untuk tergerak dan juga bergerak. Tokoh Roy telah mengajarkan, bahwa alam adalah guru yang baik, demikian juga pengalaman. (Butet Manurung, guru anak rimba)

Gola Gong bukan hanya menulis apa yang ditangkap mata, tetapi juga hatinya. (Asma Nadia, Penulis novel, peraih Adhikarya IKAPI, CEO Penerbit Lingkar Pena)

***

Terakhir aku menulis "Labirin Lazuardi 2: Ketika Bumi Menangis" pada 23 Februari 2007. Saat itu kondisi tubuhku masih sakit-sakitan. Punggungku, persis di lumbar 5, mengalami pengapuran dan menjepit kedua saraf tepi kakiku. Terutama kaki kiri. Setiap hari aku melakukan terapi. Jika duduk tidak sanggup lama. Akibatnya "Labirin Lazuardi 3: Buih Sagara Biru" terbengkalai. Materi yang aku siapkan teronggok. Aku tidak mampu
merangkainya.

Aku lalui hari-hari dengan terapi dan berkebun. Ke kantor pun sesekali saja. Aku menolak undangan menjadi pembicara di luar Serang. Aku tidak sanggup melakukan perjalanan jauh. Paling-paling sebatas jakarta saja.Terasa bosan hidupku. Tapi, aku masih menyempatkan diri mengajar di Kelas Menulis Rumah Dunia, karena lokasinya di halaman belakang rumahku. Untuk Rumah Dunia, insya Allah, segala yang aku miliki, aku persembahkan semampuku.

Aku mengetik sehari paling 1 atau 2 halaman. Hari berlalu, bulan berganti. Semangatku mulai bangkit memasuki awal Mei 2007 ketika buku "Labirin Lazuardi 1: Langit Merah Saga" sudah ditanganku. Novel serial keduaku setelah "Balada Si Roy". Cover "Labirin Lazuardi 1: Langit Merah Saga" yang dibuat Bambang Damayanto begitu magis. Penuh misteri. Membuat darahku bergolak. Itu aku buktikan dengan mendatangi stand Penerbit Tiga Serangkai di Pesta Buku Jakarta 2007, pada saat pembukaan 2 Juni. Aku berdiri di sana dan menyapa para pengunjung pameran. Beberapa pembaca novelku mampir dan kami berbincang-bincang. Beberapa orang membeli dengan kububuhi tanda tanganku. Aku merasa lebih sehat, walaupun sebetulnya dari mulai pinggang hingga ke kaki kiriku terasa sakit.

Masih dalam kondisi sakit, di sela-sela terapi, aku menyempatkan mengetik lebih banyak lagi. Sebetulnya aku dilarang bekerja. Tapi, apa mungkin? Hidup adalah perjuangan. Perlu kerja keras. Kunjungan Asma Nadia dan Hilman Lupus di awal Februari 2007 dengan memberiku bantuan dana - dari teman-teman Forum Lingkar Pena dan sesama mantan Pengarang Remaja Gramedia - untukku berobat membuatku malu. Aku sebetulnya tidak pantas menerima sumbangan itu. Tapi, melihat niat baik mereka, aku patut
bersyukur, karena itu sangat membantuku. "Mas Gong harus sembuh," kata Asma, "agar terus bisa memotivasi kami, jugaanak-anak Rumah Dunia." Aku terharu mendengarnya. Aku merasa tidak sendirian.

Tapi, aku tidak tahan kalau tidak menulis. Tiada hari tanpa menulis. Selain pekerjaan kantor, "Labirin Lazuardi" mengusikku terus. Akhirnya aku mengetik lagi sambil sesekali diselingi rebah-rebahan dan berjalan meluruskan punggung. Tias membantuku menjadi pembaca pertama; Tias mengoreksi dan menambahi dengan bumbu-bumbu penyedapnya. Terutama sajak-sajak pembuka. Aku ingin novelku ini tetap dengan ciri khasku; selalu ada sajak pembuka.

Maka menu ketika "Labirin Lazuardi: Buih Sagara Biru" aku hidangkan, terasa ada sesuatu yang lain, yaitu kerinduan seorang anak terhadap ibunya. Silahkan para pembaca meraciknya sendiri. Semoga setelah membaca buku ini ada sesuatu yang membekas. Semoga bisa menjadi cermin bagi kita semua. Terutama aku. Selamat membaca dan berbahagia. (*)

No comments: