Judul Buku : The Hidden Face Of Iran
Catatan Perjalanan Warga Amerika Serikat Menembus Jantung Negeri Iran
Penulis : Terence Ward
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani
Terbit: Cetakan 1, Maret 2007
Tebal: 579 halaman
Penerbit : Rajut Publishing
Ketika Iran dan AS Menjadi Saudara
Oleh Muhammad Ja’far
Seperti burung-burung attar, jalan kami untuk menemui keluarga Hassan membawa kami berhadapan dengan cinta, lebih jauh dari pada dunia politik dan sangkaan tidak berdasar (Ward, hlm 568).
Benar, bahwa Negara menjalankan fungsi representasi atas (aspirasi) rakyatnya melalui mekanisme politiknya. Namun, itu bukan berarti rakyat dapat selalu diidentikkan dengan Negara yang menjadi tempat afiliasinya. Terlebih lagi, rakyat diidentikkan dengan praktik politik yang berlaku didalamnya (pemerintahnya). Ini problem masyarakat dunia dewasa ini, yaitu keunikan individual, tergerus oleh komunalitas. Identifikasi serta generalisasi rakyat sebuah Negara dengan pemerintahan yang berkuasa didalamnya kerap terjadi.
Bahwa Amerika Serikat (AS) dan Republik Islam Iran kini sedang berseteru, benar adanya. Hubungan politik antar keduanya sedang memanas, tepat sekali. George W Bush, Presiden AS, dan Mahmoud Ahmadinajed, Presiden Iran, bisa dinobatkan sebagai dua pemimpin yang dalam dua tahun terakhir ini paling gencar berkonfrontasi diplomasi politik. Saling tuding dan aling dilakukan masing-masing. Terutama menyangkut isu program nuklir. Tampaknya tidak ada yang akan membantah bahwa antar keduanya sulit dibangun jembatan damai serta harmonisasi.
Tapi dalam buku ini, The Hidden Face of Iran,, fakta yang kita dapatkan justru sebaliknya: ‘Iran’ dan ‘Amerika’ bergandengan tangan layaknya saudara. Hubungan keduanya demikian erat, bersahabat dan penuh kekeluargaan. Sesuatu yang tidak kita dapatkan dalam cakrawala polotik praktis kedua Negara tersebut.
Buku ini membawa sebuah pesan tulus; mengidentikkan serta menggenaralisir individu (rakyat) dalam sebuah Negara dengan pemerintahan politiknya merupakan sebuah sikap yang sama sekali tidak tepat. Ward ingin berpesan bahwa fakta yang mengemukan pada tataran politis tidak dapat serta digeneralisir pada aspek sosio-kultural. Tidak selamanya realitas sosio-kultural parallel dengan kekelaman fakta politik. Konflik politik tidak dapat digeneralisir sebagai konflik peradaban. Keduanya tidak identik, walaupun dalam batas tertentu kesalingpengaruhannya tidak dapat dinafikan. Itu pasti. Namun, selalu saja banyak jalan untuk membuka pintu dialog sosia-kultural (peradaban) ketika pintu politik justru menutupnya dengan erat. Sebaliknya, bukan tidak mungkin, ketika relasi pada tingkat sosial-budaya buntu, aktor-aktor politik dua buah Negara justru bermesraan demi sebuah opportunisme-pragmatisme politik.
Buku ini merupakan rekaman perjalanan Terence Ward mengarungi tebing curam realitas Iran. Ward ialah seorang berkebangsaan Amerika Serikat. Bersama keluarga besarnya, ia menghabiskan masa kecilnya di Iran. Selama itu, keluarga Ward ditemani seorang pembantu bernama Hassan, penduduk setempat. Pengabdian Hassan yang tulus tanpa pamrih menempatkannya lebih dari sekedar koki penyiap masakan. Terjalin hubungan demikian erat dan istimewa antara keluarga Hassan dan keluarga Ward dalam satu atap. Hingga akhirnya takdir memisahkan keduanya pada 1960-an. Keluarga Ward kembali ke negaranya, Amerika Serikat. Sedangkan Hassan tetap bersemayam di bumi pertiwinya, Iran.
Tiga puluh tahunan berselang, tepatnya 1998, terketuk hati keluarga Ward untuk bertemu kembali dengan Hassan. Namun, kondisi Iran yang tidak lagi seperti dulu membuat proses pencarian tidak mudah dilakukan. Ada dua momentum penting yang terjadi dalam rentang waktu tersebut: meletusnya revolusi Islam dan perang sepuluh tahun denga Irak. Dua momen itu menjadi begitu penting, karena selain mengubah Iran sendiri, momen itu membalikkan secara drastis hubungan politik pemerintah Negara itu dengan Amerika Serikat: bukan lagi sebagai kawan karib sebagaimana masa pemerintahan Syah Reza Pahlevi, namun berbalik menjadi musuh bebuyutan. Iran dan Awerika Serikat tidak pernah akur. Ini tantangan terberat keluarga Ward untuk memasuki Iran; melawan stigma politis tentang rakyat Iran tentang bangsa Amerika Serikat.
Perjalanan kembali ke Iran, dalam rangka menemukan kembali Hassan inilah yang menjadi bidikan utama Ward dalam dalam karyanya ini. Perjalanannya bersama orang tua dan saudara-saudaranya, dinarasikan Ward secara sederhana, namun penuh makna. Ward mencoba memotret realitas sosio-kultur-politik Iran, tiga puluh tahun setelah ditinggalkannya. Banyak elemen hidup masyarakatnya yang telah berubah drastis, dan kini asing di mata Ward .
Namun sedemikian berubahnya, Ward tetap dapat menangkap energi kuat negeri itu yang tidak pernah hilang dari dasar memorinya. Ketika itu, bagi Ward , kampung halamannya adalah Iran, bukan Amerika Serikat. “kampung halaman, tempat segala penemuan dan pengalaman masa kecil terjadi, berubah-ubah seiring waktu, sehingga bisa dikatakan bahwa kita semua ialah pengungsi dari sebuah dunia yang hilang”. Demikian Ward menarasikan persepsinya tentang masa kecilnya di Iran, dengan mengutip Rebecca Solnit dalam A Book of Migrations.
Secara kategoris, ada dua aspek yang menjadi fokus utama Ward di bukunya ini; pertama, penelusuran serta penggambaran tentang pergumulan Iran dalam mencari identitas kebangsaan-kenegaraannya. Karena diwarisi reruntuhan peradaban Persia yang cukup gemilang, Iran memiliki bekal berharga untuk menjadi besar, namun pada saat yang sama berpotensi terbebani oleh masa lalunya. Salah satu penggambaran apik Ward tentang masalah ini adalah tarik menarik yang kuat antara penggunaan nama Persia dan sebutan Iran saja. Secara simbolik, ini merepresentasikan ketegangan masyarakat Iran dalam menyikapi masa lalu mereka dan merengkuh masa depan mereka.
Kedua, ketegangan lain yang dialami Iran dan disoroti Ward adalah antara mempertahankan nilai-nilai ideal revolusi Islam dan keniscayaan untuk membuka diri dengan realitas yang berkembang pada tingkat global. Untuk mengakomodir keduanya, bukan agenda yang mudah bagi bangsa Iran. Menjaga nilai suci revolusi, memiliki tantangan berat untuk tidak terjebak pada stagnasi dan sikap tertutup. Adapun tuntutan untuk senantiasa berparadigma terbuka dan dinamis kerap dicurigai akan menjerumuskan penduduk negeri itu pada virus westernisasi. Maka, ketegangan menjadi tidak terhindarkan. Ini salah satu tantangan terbesar bangsa Iran.
Dari aspek tema, buku ini cukup relevan dan aktual, mengingat fenomena global dewasa ini semakin menunjukkan signifikansi berlangsungnya proses dialog peradaban di tengah carut marut tata politik ekonomi global. Dari perjalanan jauhnya mengarungi bumi Iran, Ward membawa ‘oleh-oleh’ tentang pentingnya dialog peradaban. Bahwa kita harus tetap optomis ada jalan menuju dialog, bukan melalui jalur politik, melainkan sosio-kultural. Dan itulah ratusan jalan menuju dialog dan peradaban, pesan Ward demikian kuat.
Namun, sesederhana inikah persoalan tentang dialog peradaban ini? Tentu tidak. Buku Ward bukanlah buku ilmiah atau akademis. Ini ‘sekedar’ buku journey, dengan pesan tulus, polos, dan bijaksana di dalamnya. Sementara itu, domain persoalan yang hendak direngkuhnya, yaitu soal dialog peradaban, jauh menelisik ke diskursus filosofis, sosiologis dan politis.
Telah banyak buku ilmiah-akademis lahir untuk mengupas tuntas soal dialog peradaban, dengan berbagai pendekatan keilmuan serta beragam teori. Tentu, sebuah dokumentasi perjalanan yang tidak bercorak ilmiah, sebagaimana yang ditulis Ward ini, tidak berpretensi menuntaskan persoalan yang kompleks ini. Tapi, apa artinya keilmiahan serta keakademisan sebuah pesan jika tidak mengandung ketulusan dan kebijaksanaan?
Ward hanya hendak menyampaikan pesan perdamaian dan dialog sebagai oleh-oleh dari perjalanan jauhnya. Bukan buku ilmiah dengan seabrek teori dan pikiran yang njelimet. Toh, bukankah perdamaian itu persoalan cukup sederhana jika bukan (nalar politik) kita sendiri yang memperumitnya?***
Monday, August 27, 2007
Resensi / Sinopsis / Review Novel " The Hidden Face Of Iran "
Label: Resensi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment