CANTING
Arswendo Atmowiloto
Novel dewasa karya asli; GM 40107045; ISBN 979-22-3249-4; 408hlm; 11x18cm;
*Cetak ulang ganti cover*
Canting, carat tembaga untuk membatik, bagi buruh-buruh batik menjadi nyawa. Setiap saat terbaik dalam hidupnya, canting ditiup dengan napas dan perasaan. Tapi batik yang dibuat dengan canting kini terbanting, karena munculnya jenis printing---cetak. Kalau proses pembatikan lewat canting memerlukan waktu berbulan-bulan, jenis batik cetak ini cukup beberapa kejap saja.
Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni---sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean---yang mencoba menekuni, walau harus berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses.
Canting, yang menjadi cap batik Ngabean, tak bisa bertahan lagi. “Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera.” Ni menjadi tidak Jawa, menjadi aeng---aneh, untuk bisa bertahan. Ni yang lahir ketika Ki Ageng Suryamentaram meninggal dunia, adalah generasi kedua, setelah ayahnya, yang berani tidak Jawa.
Wednesday, December 12, 2007
CANTING
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment