Kisah James Bond Bergamis
Judul: Inside the Jihad: Teroris atau Tentara Tuhan?
Penulis: Omar Nasiri
Penerbit: Zahra Publishing House
Tahun: 2007
Tebal: 566 halaman
Menyelamatkan Islam dari kehancuran dan perubahan-perubahan yang luar biasa parahnya" (h.543), itulah alasan mengapa Omar Nasiri menuliskan kisah petualangannya memata-matai jejaring al-Qaidah untuk kepentingan Barat. Tak begitu pen-ting apakah dalih ini boleh dipercaya atau tidak. Yang menarik dari buku ini justru intensitas
kisah Nasiri sang James Bond bergamis.
Umar Nasiri, jelas bukan nama asli, berasal dari keluarga broken home. Lahir di Maroko dan besar di Belgia. Ia membina keahlian mata-mata dengan menipu para turis melalui profesi pemandu wisata yang "sering minum-minum dan banyak merokok setiap hari serta mendengarkan musik reggae dan tidur bersama gadis-gadis" (h.62).
Sebagai-mana galibnya pribadi yang tumbuh di dua dunia berbeda, Nasiri tak pernah merasa betah sebagai Muslim ataupun sebagai warga Eropa. Bak novel Salah Asuhan, Nasiri menjadi Hanafi.
Hakim, sang kakak, memberikan makna jati diri sejati sebagai Muslim baginya. Hakim telah berpaling diri dari kenikmatan duniawi menuju kesalehan dengan memonopoli kebenaran. Sang kakak dan teman-temannya yang memperkenalkan Nasiri pada GIA (Kelompok Islam Bersenjata) yang berkeinginan menegakkan pemerintahan Islam di Aljazair melalui jalur kekerasan, dan terlahir akibat penjegalan kemenangan demokrasi
gerakan Muslim di sana. Namun bukan Hakim yang berperanan besar membawanya ke jejaring gerakan radikal. Alih-alih terpikat ideologi Islam nan mapan, Nasiri terlibat kegiatan garis keras lebih karena ketamakan.
Nasiri menjadi perantara dalam perdagangan senjata untuk menyuplai kebutuhan GIA dan gerakan radikal lain yang mulai kerap bertandang ke rumahnya bersua dengan Hakim. Tak tahan dengan tetamunya, Nasiri lantas mencuri uang mereka supaya teman-teman Hakim tak lagi membahayakan rumah, keluarga, dan terutama sang ibu. Celakanya, Hakim dan kawan-kawan malah memfatwakan mati bagi Nasiri. Nasiri lantas lari ke konsulat Perancis dan menawarkan jasa menjadi mata-mata untuk Direction Generale de la Securite Exterieure (DGSE), intelijen militer di bawah Departemen Pertahanan perancis. Ia pun dibaiat mengabdi untuk Paris.
Nasiri didanai mengembalikan uang curiannya dan mulai mendapatkan kepercayaan kelompok radikal itu lagi untuk mendapatkan senjata hingga menyelundupkan mobil berpeledak ke Maroko. Tak lama, jaringan di rumahnya di Brussel itu digerebek berikut penahanan sejumlah kaum militan. Nasiri lantas berpindah tugas ke London dan Istanbul lalu ke Pakistan dan Afghanistan, serta menambah majikan dari Perancis, Jerman, sampai Inggris.
Di Pakistan, Nasiri ber-khuruj dengan Jamaat Tabligh. Mereka "bukan Muslim yang taat" dalam satu sekte yang "mempunyai sedikit kaitan dengan Islam" dan memaknakan jihad sebagai semata upaya "membawa orang-orang yang tersesat kembali pada Tuhan" (h.214-6). Ia kecewa lantas berpaling.
Afghanistan memberikan apa yang ia cari. Di kamp Khaldan, dekat Khowst, Nasiri bergabung dengan jejaring al-Qaidah. Nasiri belajar membaca Quran sembari menekuni latihan militer, termasuk merekayasa bom dari air seninya. Digembleng dengan doktrin dari karya Sayyid Qutb, ia lantas berinteraksi dengan banyak petinggi al-Qaidah. Walau tak bersua dengan Usamah bin Ladin, ia dekat dengan Ibnu Syeikh al-Libi, Abu Zubaida, Abu Khabab al-Masri. Al-Masri ialah ahli pembuat bom dan pakar senjata kimia di al-Qaidah. Zubaida merupakan kepala perekrutan bagi jaringan teror ini. Ibnu Syeikh al-Libi merupakan pengelola beberapa kamp pelatihan teroris al-Qaidah di Afghanistan hingga menjadi salah satu pejabat penting jaringan ini.
Nasiri dan kelompoknya "tidak suka pada Taliban", sang tuan rumah. Ia sendiri membenci Taliban karena mereka "kejam, sama sekali tidak beradab". Nasiri merasa "jijik dengan eksekusi yang dilakukan secara terang-terangan serta hukuman memeng-gal kepala, dan cara mereka menguasai negara yang membuat rakyatnya hidup ketakutan" (h.347-8). Bahkan Ibnu Syeikh menegaskan "tidak seorang pun dari kalian disini
yang akan berjuang bersama Taliban" karena "kalian disini untuk berlatih agar dapat bertempur di negara masing-masing" (h.350-1).
Nasiri juga menganggap kaum Syiah adalah musuh terbesar Islam dengan Iran sebagai "musuh yang lebih hebat daripada Amerika atau Rusia atau bahkan Israel". Syiah "lebih berbahaya" karena mereka "tengah berusaha menghancurkan Islam dari dalam" (h.326-7).
Masalah sebagai mata-mata pun bukan tak ada. Dalam tugasnya, laksana Jason Bourne, Nasiri merasa tak lagi memiliki jati diri seorang mata-mata sekaligus mujahid. Nasiri sangat berbahagia ketika akhirnya ia ditugaskan Ibnu Syeikh ke Eropa. Bahagia karena ia merindukan kehidupan di Barat, rindu anggur, kangen rokok, makanan enak, koran, kasur empuk, dan "lebih dari segalanya aku rindu bercinta" (h.416). Nasiri memang bukan Amrozi.
Dia lalu melaporkan semuanya pada dinas rahasia Barat, lalu mengambil pensiun. Nasiri mengakhiri kisahnya dengan satu konsep jihad yang ia gubah. "Jika kami, sebagai umat Islam membiarkan diri kami menjadi seperti [musuh-musuh kami]… maka tidak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan. Inilah jihadku." Nasiri tetap seorang jihadi tapi bersalin diri.
Wednesday, December 12, 2007
Inside the Jihad: Teroris atau Tentara Tuhan?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment