Resensi Atas Novel Terbaru Sindhunata: Putri Cina
Oleh MARIA HARTININGSIH
Kompas, Minggu, 23 September 2007
Narrowly constructed, the present is never and always. It is here and gone with the tick of the clock, then here again.
(Michael T Isenberg, Puzzles to the Past: An Introduction to Thinking about History, 1985)
Banyak orang tunduk pada waktu, tetapi tidak begitu halnya dengan Sindhunata.
Dalam novelnya terbaru, "Putri Cina", Sindhunata meletakkan masa lalu di dalam masa kini, membuat waktu tak berkerangka, tak punya ruang; bahkan ruang dan waktu tiada, ketika keduanya melebur ke dalam peristiwa.
Peristiwa itu adalah tragedi Mei tahun 1998 di Jakarta, yang menurut catatan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, menewaskan 1.217 orang, 91 terluka, dan 31 hilang. Peristiwa itu menghancurkan kepercayaan kepada negara, membiakkan prasangka, dan, mengutip F Budihardiman (2006), menggelembungkan negativitas yang didefinisikan oleh sesuatu di luar diri, yakni dampak yang ditimbulkannya.
Terutama yang menyebabkan kerusakan total dari hidup kebersamaan: peristiwa pemerkosaan dan penganiayaan seksual terhadap para perempuan etnis Tionghoa, yang terlacak hampir sebulan setelah peristiwa kerusuhan itu.
Banyak fiksi dan drama telah ditulis dan dimainkan untuk mengingatkan orang pada tragedi itu, khususnya peristiwa pemerkosaan, yang terus disangkali, sampai detik terakhir sebelum pernyataan pengakuan diikuti permintaan maaf Presiden BJ Habibie kepada rakyat Indonesia pada 15 Juli 1998.
Pernyataan itu tidak menyebut secara spesifik "perempuan etnis Tionghoa", tetapi tragedi itu telah membuka kedok betapa rentannya identitas tunggal yang ditempelkan pada seseorang dan segolongan manusia.
Menggemakan suara korban adalah bagian dari upaya membangkitkan kesadaran untuk menolak rasialisme dan kekerasan terhadap perempuan.. Juga cara bertutur ketika pengungkapan fakta sangat berisiko atas nama "bukti", sementara kata terakhir harus direbut dari pena para pelaku agar bagian gelap sejarah bangsa ini dikuakkan.
Di antaranya adalah cerpen Seno Gumira Ajidarma, Clara (1999), dibacakan dan dipentaskan sebagai drama di berbagai kampus. Seno juga membuat komik tentang itu.
Nozuma III (2005) karya Marga T mengingatkan pada kasus tewasnya Ita Martadinata. Kemudian Richard Oh dalam Pathfinders of Love (1999). Dari sisi pelaku, Chachay Syaifullah menulis Sendalu tahun 2005.
Antara mitos dan sejarah
Kisah Putri Cina merupakan pergumulan eksistensial menyangkut identitas-identitas: Siapa dia sesungguhnya dan mengapa ia bernama Putri Cina? Di manakah ia ketika tiada lagi wajahnya? (hal 13)
Sebagian narasi dalam buku ini menggunakan bahasa indah, tidak mengada-ada dan sangat dalam tentang kejawaan. Dialog antara Putri Cina dan Sabdapalon-Nayagenggong dalam beberapa hal mengingatkan pada pemikiran Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan dan pandangan Elie Wiesel tentang kejahatan tersembunyi di dalam diri manusia, yang membuat manusia tega berlaku keji pada siapa pun.
Dalam Putri Cina, Sindhunata memasuki wilayah yang tak bisa dikatakan sepenuhnya sebagai mitos. Bagian yang dikembangkan menjadi novel ada dalam disertasi antropolog Nancy K Florida dari Universitas Michigan, AS, diterbitkan dalam buku Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java (1995).
Naskah Babad Jaka Tingkir yang tersimpan di Keraton Surakarta itu ada kaitannya dengan Pakubuwana VI, yang lenyap dalam pembuangan Belanda tahun 1830.
Kisah Jaka Prabangkara yang membuka kisah Putri Cina adalah bagian dari babad tersebut.
Jaka Prabangkara adalah anak Prabu Brawijaya dari seorang selir, yang dibuang ke Cina oleh ayahnya setelah titah sang ayah melukis permaisurinya, Putri Cempa, terlihat begitu sempurna, sampai kepada noda hitam di ujung pahanya.
Prabangkara akhirnya menjadi menantu Maharaja Kaisar Cina, menurunkan banyak anak-cucu, yang nantinya berlayar menuju ke tanah leluhurnya, Tanah Jawa. Putri Cina adalah keturunan Prabangkara.
Ada dua Putri Cina dalam novel ini. Yang pertama adalah Putri Cina yang diceraikan Prabu Brawijaya, ibu dari Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa yang kelak menggulingkan sang ayah. Dia membawa Tanah Jawa menapaki zaman baru, dan oleh para wali diminta menjadi jembatan antara Jawa Lama menuju Jawa Baru, antara agama lama menuju agama baru.
Putri Cina lainnya adalah Giok Tien, pemain ketoprak Sekar Kastubo. Hampir setengah bagian terakhir mengeksplorasi kisah Giok Tien, termasuk kisah cintanya dengan pemuda Jawa bernama Setyoko, suami, yang kelak menjadi Senapati Gurdo Paksi di Kerajaan Medang Kamulan Baru.
Di sini mitos dan sejarah bergulat menjadi kenyataan hidup. Peran Eng Tay yang dilakonkan Giok Tien dalam ketoprak Sam Pek-Eng Tay adalah lakon hidupnya sendiri. Cinta yang mengikat, cinta pula yang memisahkan. Seperti kesia-siaan.
Akan tetapi, adakah kesia-siaan ketika kita menyaksikan kupu-kupu cinta tak lagi memisahkan Jawa dan Cina, kupu-kupu kuning yang mati di utara, memanggil hujan yang menyegarkan dan menyuburkan tanah; kupu-kupu Putri Cina yang mengubah bunga-bunga kematian menjadi kehidupan dan menaburkan permata berupa buah-buah doa ke seluruh dunia.
Novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi permainan politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya berbahaya, tetapi juga kejam.
Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks politik yang berbeda-beda.
Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi waktu itu (hal 149-150).
Sejarah kontemporer mencatat pengambinghitaman etnis Cina sejak tahun 1740 (hal 85-86).
Sebuah novel menawan, dengan mengabaikan gambar sampulnya.
Ilusi identitas
Novel ini membawa pesan: identitas tunggal adalah ilusi.
Siapa Cina? Siapa Jawa? Nilai kemanusiaan kita ditantang ketika keberagaman manusia dimampatkan ke dalam satu sistem kategorisasi tunggal yang sewenang-wenang (Amartya Sen, 2007).
Ironisnya, identitas selalu dijadikan locus politik. Pijakannya kultur.
Padahal, kebudayaan bertumbuh dari perjumpaan antarmanusia. Lakon ketoprak Sam Pek-Eng Tay hanyalah satu contoh dialog dalam kebudayaan. Tak ada sekat.
Sedangkan ciri fisik hanyalah "kulit" ketubuhan yang membalut pikiran dan jiwa;
"dunia kecil" dalam "dunia besar" bernama Semesta yang dibahas sangat dalam di buku ini.
Antropolog Perancis, Jean-François Bayart, membantu membebaskan "kita" dari "kekamian", dengan menulis perjalanan intelektual seputar politik dan kebudayaan yang berkelindan dengan politik kontemporer tentang identitas dalam bukunya, The Illusion of Cultural Identity (2005).
Saya membaca Putri Cina dengan ingatan pada karya Sindhunata, Kambing Hitam (2006). Di situ ia tak menolak "identitas" yang didefinisikan pihak di luar dirinya, tetapi merengkuhnya sebagai kerinduan terdalam hati manusia akan sebuah tanah air abadi, yang damai dan tenteram, yang tak pernah memisah-misahkan manusia lagi.
Dan identitas? Pada halaman 302-303, penyair Tao Yuan Ming mengatakan, "Tak berakarlah hidup manusia ini, seperti debu jalanan, kita beterbangan, dibawa angin, ditebarkan ke mana-mana…."
Wednesday, December 12, 2007
Putri Cina
Label: Resensi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment